SRI MULIH PENDAWA SEBAGAI SARANA PELENGKAP GREBEG SEKATEN DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA

Sukatno -(1),


(1) Institut Seni Indonesia Surakarta, Jalan Ki Hajar Dewantoro 19 Surakarta

Abstract

Lakon Sri mulih Pendawa merupakan garapan baru yang menggabungkan lakon versi Jawa dengan versi Mahabarata. Keluarga Pendawa mengalami  ketidak tenteraman karena  Dewi Sri dan Sardono murca bersama dengan  lumbung padinya dari  tempat  penyimpanan.  Dewi Sri bertempat di keraton Pundak Sitegal suatu keraton baru yang dipimpin seorang raksasa yang arif bijaksana. Untuk mengembalikan Dewi Sri sebagai lambang kemakmuran dan kebahagian hadir seorang tokoh Probokusuma berasal dari kahyangan Untoro Segoro yang mencari pengakuan putera janaka. Probokusumo akan diterima sebagai anak janaka jika dapat mengembalikan Dewi Sri. Atas pertolongan  Burung Goh Endro Probokusuma dapat memboyong Dewi Sri setelah kembang Ajari Tangan dapat dibawa bersama Sardono. Kembalinya Dewi Sri dan Sardono bersama lumbung padi, Lesung dan alat penunbik padi  ketempat penyimpanan sebagai tanda kemakmuran, kebahagianan dan ketenteraman keraton Amarta.

 

Sri Mulih Pendawa play is a new performance that blends Javanese version play and Mahabarata version. Pendawa families went through tumultuous life because Dewi Sri and Sardono were wrathful with their rice mill out of its storage. Dewi Sri dwelled in Pundak Sitegal palace, a new royal palace led by a noble and wise king. To return Dewi Sri as a goddess of prosperity and happiness, a figure named Probokusuma came from Untoro Segoro heaven, who searched for admittance of Janaka son. Probokusuma would be admitted as Janaka son if he could return Dewi Sri. By dint of Goh Endro bird, Probokusuma could carry away Dewi Sri after Sardono had brought Ajari Tangan flower. The return of Dewi Sri and Sardono with the rice mill, trough and rice masher to the storage represents prosperity, happiness, and convenience of Amarta royal palace.

Keywords

Sri Mulih, wayang kulit, Sekaten, garapan baru.

Full Text:

PDF

References

Amir, Hazim. 1994. Nilai-Nilai Estetika dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Jazuli, M,. 2003. Dalang Negara dan Masyarakat Sosiologi Pedalangan. Semarang: LIMPAD.

------------- 2011. Sosiologi Seni. Surakarta: UNS Press.

Marjono, 2010. “Sanggit Catur Nartosabda dan Manteb Sudharsono Dalam lakon Kresna Dutaâ€. Surakarta: ISI. Tesis S 2 Tidak dipublikasikan.

Murtiyoso, B. Sumanto, Suyanto. Kuwato. 2007. Teori Pedalangan Bunga Rampai Elemen Elemen Dasar Pakeliran. Surakarta: ISI .

Padmosoekotjo. 1990. Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita. Jld VII tamat. Surabaya: PT Citra Jaya Murti.

Purwadi, 1992. Serat Pedhalangan lampahan Kresna Duta. Sukoharjo: CV. Cenderawasih.

Randyo, M. 2011. “Makna Simbolis Lakon Kangsa Adu Jago dalam Pertunjukan Wayang Kulit purwoâ€. Semarang: Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni Vol XI edisi Juni .

Rustopo, 2012. SENI PEWAY ANGAN KITA Dulu, Kini dan Esok, Bunga rampai. Surakarta: ISI Press Solo.

Soetarno. 2005. Pertunjukan Wayang dan makna Simbolisme. Surakarta: STSI Press

Solichin, Waluyo, Sumari. 2007. Mengenal Tokoh Wayang. Surakarta: CV Asih Jaya.

Solichin. 2010. Wayang. Masterpiece Seni Budaya Dunia. Jakarta: Sinergi Persadatama Fondation.

Subandi, 2010. “Barathayuda Suluhan Gatutkaca Gugur sebagai Pahlawanâ€. Dalam Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni Vol X edisi 2 Semarang: UNNES. FPBS.

Sudarko, 2003. “Plot Wayang Purwa dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Dalam Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni Vol IV No 3. Semarang: UNNES FPBS.

Suparno, Slamet. 2009. Pakeliran Wayang Purwa Dari Ritus Sampai Pasar. Surakarta: ISI Press Solo.

Refbacks

  • There are currently no refbacks.




Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.