PERCIKAN API REVOLUSI DI KAMPUNG TULUNG MAGELANG 1945
Abstract
Beberapa kajian tentang Revolusi Indonesia masih terfokus pada wilayah administrasi yang luas, seperti Provinsi atau Kabupaten/Kota. Padahal, desa juga memiliki potensi untuk dikaji tentang keterlibatannya dalam proses perubahan cepat yang terjadi pasca kekalahan Jepang melawan Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya (PATR). Kampung Tulung di Kota Magelang merupakan contoh kasus, dimana desa ikut terlibat merasakan percikan api revolusi yang membakar semangat rakyat untuk merdeka. Kondisi Magelang yang darurat, kemudian disikapi oleh pemerintah pusat dengan menjadikan daerah Magelang sebagai daerah darurat militer. Saat Jepang melakukan pawai milter dari Semarang dan tiba di Kampung Tulung. Dalam waktu sangat singkat Tentara Kido Butai telah sampai di belakang Kelurahan, dan oleh para Pemuda yang berada di Kelurahan mengira bahwa itu adalah kawan sendiri yang berasal dari Tentara Keamana Rakyat (BKR). Para Pemuda sibuk menyiapkan makan siang bagi para pejuang, karena di Kelurahan itu adalah penyelenggara Dapur Umum. Kedatangan mendadak para Tentara Kido Butai menyerang para pemuda yang tidak bersenjata untuk melawan. Akibatnya, penduduk Kampung Tulung yang berada di sekitar dan dalam Kantor Kelurahan dibantai dengan kejam. Jumlah penduduk Kampung Tulung tewas yang berhasil teridentifikasi berjumlah 42 orang, pemuda 42 orang, 16 pejuang, dan 26 anggota TKR berasal dari Kelurahan Magelang. Penyerangan tersebut disinyalir dilatarbelakangi oleh faktor kebrutalan situasi perang. Jepang yang sudah terdesak oleh Sekutu dan Tentara Republik mencoba bertindak agresif, sehingga mereka tidak segan melakukan penjarahan bahkan pembunuhan.